Oleh
Halvika Padma
Saudara-saudara kami tidak paham dengan betapa ganasnya sebuah trauma. Padahal sudah kami ceritakan kepada mereka tentang perilaku keji yang diterima anak kami, Wuri. Kami juga sudah berpesan agar tak membahas hal tersebut di hadapannya apalagi bertanya langsung. Tetapi mereka tetap saja penasaran.
Yang lebih kami kesalkan dan sesalkan
adalah orangtua. Semestinya mereka mempertegas larangan untuk tidak membahas
persoalan keji itu. Apalagi mereka pernah berada dalam posisi kami. Akhirnya
aku berkesimpulan bahwa hidup dengan orang yang dekat sama sekali tidak membuat
trauma itu sehat melainkan membuatnya tumbuh semakin dahsyat.
I.1
Siang sehabis jam pelajaran hari itu,
aku piket kelas. Kursi dan meja membentuk lingkaran-lingkaran. Bekas sobekan
kertas dan rautan pensil bertaburan di lantai. Papan tulis dipenuhi oleh rumus
dan angka-angka.
Kami hanya berdua. Sebenarnya bertiga.
Dua orang perempuan dan satu orang laki-laki. Namun teman perempuanku tidak
masuk karena mewakili sekolah untuk membaca puisi.
Agar kami bisa pulang cepat dan tugas
piket terlaksana dengan baik, maka kami berbagi tugas. Perempuan membersihkan
papan tulis dan menyapu ruangan. Laki-laki merapikan meja dan membuang sampah.
Sebelum ruangan disapu, kursi-kursi mesti diletakkan dulu di atas meja dengan
posisi kaki kursi ke atas dan papan yang digunakan sebagai alas tempat duduk
berada di atas meja. Sehingga kursi dan meja terlihat seperti sedang kawin.
Mengawinkan kursi dan meja mungkin agak
lama. Selain lingkaran-lingkaran meja itu berantakkan, keduanya mesti di
tempatkan pula di posisinya semula. Sambil menunggu, aku hapus papan tulis. Aku
hapus satu-persatu angka-angka dan rumus-rumus itu. Perlahan-lahan. Aku atur
berapa jarak dan angka di baris keberapa yang mesti dihapus. Sebuah pola tangan
dengan jari-jari menawan terbentuk tanpa sadar. Jari-jari yang hendak meraih
sesuatu di altar kelasku.
Pola tangan dengan jari-jari menawan itu
memukau aku. Seakan-akan di altar tergantung harapan yang begitu ingin
diraihnya. Aku perhatikan dari altar hingga ke pangkalnya. Namun di pangkal itu
ada keanehan, beberapa bayang-bayang tangan mengendap-ngendap. Ia tak terbuat
dari rumus dan angka dan aku tak pernah membikinnya ada.
Bayang-bayang itu adalah pola bergerak
yang menerobos pantulan tubuhku dan melilit pinggangku. Aku berbalik. Beberapa
orang laki-laki dari kelas lain berada di kelasku. Mereka menggelung seluruh
bagian tubuhku. Bagai dipeluk sanca, semakin bergerak semakin digelung erat.
I.2
Aku tidak mengenakan bra sebab payudaraku yang baru tumbuh
belum mampu ditampungnya. Tapi aku sudah punya malu di umur remaja itu karena
itulah aku memakai manset, baju dalam untuk perempuan. Manset putih. Celana
dalamku juga putih dan di beberapa bagian ada bordiran motif bunga. Aku
berusaha menutupinya dengan kedua tanganku. Namu sekuat apapun tanganku
menutupi malu, sepuluh kali kuat mereka membukanya.
Celana dalamku terkoyak, mansetku juga.
Aku telanjang. Tak ada lagi penutup malu. Tangan-tangan merekalah yang ikhlas
menutupi payudara dan kelaminku. Meremas-remasnya, mengusap-usapnya dan
menjilatinya. Bahkan segala yang berlubang mereka tambal dengan jari dan
kelamin mereka.
I.3
Aku tak ingin bicara. Tak ingin disentuh.
Tak ingin televisi. Hampir tak ingin bernafas. Aku hanya ingin sendiri dan
diam.
Di luar, para tetangga begitu antusias
dan tak sabar mendengarkan derita-deritaku. Layaknya segerombolan fans fanatik yang menunggu kedatangan
selebritis pujaan mereka. Jika aku ceritakan derita itu, mereka mungkin akan
mengabadikannya lewat pembicaraan-pembicaraan yang beredar dari pasar ke pasar,
surau ke surau, lapau ke lapau, dan dari mana ke mana saja. Namun orangtuaku yang
dungu, merasa tetangga adalah orang yang paling empati, memaksaku untuk
menceritakan rinci peristiwa itu.
Sudah aku katakan, aku tidak ingin, tapi
mereka tetap saja memaksa. Akhirnya aku meronta, mengamuk, menghempas ke mana
saja seperti orang kesurupan. Atau memang kesurupan?
I.4
Esoknya terdengar kabar bahwa
pelaku-pelaku sudah babak belur. Seluruhnya dirawat di rumah sakit dengan
kondisi patah tulang dan ada yang koma. Tetangga, sebagian besar masih ada
hubungan keluarga, itulah yang membikin mereka nginap di sana.
Setelah kejadian itu banyak saja
orang-orang yang berdatangan ke rumah. Kebanyakan dari mereka tidak aku kenal
namun masih kerabat orangtuaku. Begitu juga dengan tetangga-tetanggaku.
Kedatangan mereka tidak lain hanya untuk memberikan dukungan moral dengan cara
yang salah. Meskipun obrolan tentang sawah, ladang, harga yang naik, politik
dan hal-hal lainnya hampir lebih banyak dari dukungan moral itu.
Mereka lebih sering menceritakan
bagaimana cara mereka melampiaskan kekesalan pada pelaku. Mungkin pikir mereka
kekesalanku juga ikut terwakilkan. Sama sekali tidak. Apalagi ketika mereka
memperlihatkan surat kabar yang memuat berita penghakiman terhadap pelaku. Dan
menunjuk-nunjuk foto bagaimana mereka melepaskan pukulan tangan kosong bahkan
balok atau batu. Terlebih lagi, yang membuat aku bercarut-carut tiada henti,
orangtuaku. Mereka juga ikut tertawa bahagia mengingat penghakiman itu.
Aku rampas surat kabar yang sedang
mereka tertawakan. Aku bakar. Meskipun begitu, ratusan bahkan ribuan eksemplar
lagi takkan bisa aku musnahkan. Entah telah berapa banyak orang yang tahu
tentang pemerkosaanku, pemerkosaan Handayani.
I.5
Aku melanjutkan sekolah jauh dari kota
kelahiran. Selama di sana, aku tidak pernah mau menerima ajakan pertemanan dari
laki-laki manapun. Setiap tangan yang mereka julurkan seakan-akan ingin
mencukil kelaminku dan meremas payudaraku.
Sikap itulah yang membuatku tidak
mempunyai teman laki-laki selama belasan tahun. Meski sudah patut bersuami, aku
lebih memilih sendiri. Mengecewakan suami di malam pertama hanya akan
memperparah keadaan. Namun jodoh memang sudah disuratkan Tuhan. Seorang
laki-laki ingin menjadikan aku istrinya meski telah aku ceritakan bahwa aku pernah
diperkosa. Baginya tidak ada masalah. Bahkan ia menganggap dirinya lebih hina.
Sebelumnya aku menganggap ia adalah
laki-laki dungu. Tetapi setelah kami bercerita banyak tentang kehinaan
masing-masing, aku baru merasakan bahwa ia adalah laki-laki yang jujur. Aku
sangat nyaman dengannya sampai saat ini.
Setelah perdebatan itu, kami memutuskan
untuk ke pusat kota. Di sana ada sebuah tugu burung yang menukik ke dalam kitab
terkembang. Persis di tengah-tengah lipatan kitab itu kepala burung terbenam.
Ke sanalah kami akan pergi.
II.1
Salah seorang dari mereka berhasil aku
bunuh di toilet ketika aku meminta kelaminnya untuk dihisap. Aku berikan
kenikmatan terakhir. Kenikmatan sebelum kematiannya.
Klimaks tinggal sepersekian detik lagi,
aku keluarkan pisau pemotong kertas yang sengaja aku beli di koperasi sekolah
ketika jam istirahat tadi. Pisau yang baru dan mengkilat itu bisa memotong
tanpa meninggalkan sakit sedikitpun.
Matanya terpicing-picing. Kakinya
meregang-regang. Dan teriakannya mendesah-desah. Ketika itu aku potong
kelaminnya. Muncratlah sperma bercampur darah.
Ia masih tetap meregang, merasakan dan
menikmati darah yang keluar dari bekas potongan kelamin itu. Matanya masih
terpicing-picing. Dan teriakannya masih mendesah-desah. Sampai ia tenang dalam
tidur panjang.
II.2
Di mata mereka aku adalah perempuan.
Sebenarnya aku adalah lelaki yang normal. Tampilanku saja yang rapi; rambut
selalu disisir dan diminyaki, memakai wangi-wangian, berkacamata, berkulit
putih, muka bersih seperti selalu memakai bedak. Padahal aku sama sekali tidak
pernah berbedak. Hanya memakai sabun cuci muka saja. Caraku berseragam sesuai
dengan anjuran sekolah. Itu wajar, bukan? Tetapi mereka masih saja
memperlakukan aku seperti perempuan. Terkadang ketika aku lewat dihadapan
mereka, mereka menatapku dengan aneh. Seperti tatapan pada perempuan. Apalagi
ketika aku berpapasan dengan mereka, mereka menghalang-halangi jalanku atau
menepuk pantatku atau meremas dadaku atau mencubit-cubit pipiku. Begitu juga
dengan cara mereka menyapaku seperti menyapa seorang perempuan.
II.3
Aku kencing di toilet. Kebetulan mereka
juga berada di sana sambil merokok-rokok santai. Aku malu kencing dekat-dekat
dengan mereka karena itulah aku pilih kloset yang paling ujung. Ketika aku
berbalik, salah seorang dari mereka telah berada di belakangku, aku terkejut.
Ia menatap panjang sambil menempelkan
salah satu tangannya di dinding. Tatapannya itu sangat menggelikan. Aku seperti
perempuan seksi saja di matanya.
Aku ingin cepat-cepat keluar dari toilet
itu. Tetapi tubuhnya yang besar menghambat jalan. Aku berusaha menerobos hingga
bisa lepas darinya. Namun masih ada berempat lagi yang menghalangi jalan
keluarku. Salah seorang dari mereka ada yang membuka celana dan memperlihatkan
kelaminnya yang besar dan berbulu. Mereka memaksa aku untuk jongkok di hadapan
kelamin itu dan aku harus menghisapnya. Aku tidak mau. Mereka terus saja
memaksa dan mengancam.
Sehari itu aku menghisap lima kelamin.
Sperma pecah dalam mulutku. Aku benar-benar tidak pernah membayangkan akan
menghisap kelamin laki-laki. Aku sangat malu dan jijik sekali. Seharian itu aku
hanya meludah, berkumur-kumur dan gosok gigi. Sampai saat ini rasa sperma itu
masih ada dalam mulutku.
Tidak kepada seorang pun aku ceritakan
peristiwa ini. Apakah itu guru atau orangtua. Apalagi kepada teman-teman. Aku
tidak sanggup menanggung. Hal ini sangat menjijikkan sekali untuk diceritakan.
Dan aku tidak ingin orang lain mengetahuinya.
II.4
Sudah aku katakan, aku tidak akan
menceritakan pada siapapun. Sudah tentu mereka yang menceritakan. Sekarang
semua orang tahu. Setiap aku lewat selalu saja ada desas-desus bahwa aku adalah
penghisap kelamin yang mahir. Jelas aku malu dan tidak bisa terima atas
perlakuan itu.
Aku beli pisau pemotong kertas saat jam
istirahat di koperasi. Pisau dengan merek paling kuat dan tajam. Setelah itu aku
ajak salah seorang dari mereka ke toilet.
Di seberang jalan itu tugu burung
menukik ke dalam kitab. Di sela-selanya orang-orang lalu lalang, kendaraan
silang-bersilang. Ya, burung itulah yang kami tuju.
Sebagai kepala keluarga, setelah
mengetahui perlakuan yang diterima Wuri, aku menjadi orang yang gelisah dan
selalu menyimpan amarah dalam-dalam. Hanya inilah keputusan yang bisa aku ambil
membawa anak dan istriku, Wuri dan Handayani, ke tugu ini. Bukan untuk
berdharmawisata melainkan untuk melumuri sayap-sayap dan lembaran-lembaran kitabnya
dengan darah.
III.1
Ma, waktu itu aku dibawa oleh guruku ke
ruangan. Katanya di sana ada banyak mainan, bunga dan aneka ragam makanan. Tapi
tidak, Ma. Ruangan itu suram, banyak jaring laba-laba dan bau. Ia menyuruhku
membuka celana setelah itu ia akan memberikan permen yang tersembunyi di sudut-sudut
ruangan itu katanya, Ma.
Aku tidak mau. Aku takut. Tapi bapak itu
pandai sekali membujuk. Ia keluarkan satu permen kecil pertanda bahwa ada
permen lain dalam ruangan itu. Katanya ini adalah sebuah permainan. Permen-permen
dan mainan disembunyikan. Kita mesti mencarinya. Maka aku turuti saja. Aku buka
celana. Belum jauh ke sudut ruang yang lebih gelap aku berlari, ia memelukku
dari belakang. Dan jarinya langsung menuju kelaminku. Benar aku menemui permen
di sudut itu. Tapi jari-jari bapak itu terasa sangat kasar, Ma.
Aku berteriak kesakitan namun ia menutup
mulutku. Katanya bapak itu punya coklat
besar yang disembunyikan dalam celananya. Aku disuruh meraba-raba celana itu.
Lalu ia bukakkan betul celananya. Dan ia suruh aku memegang daging besar
berwarna coklat itu. Katanya, itu coklatnya. Aku tidak tahu kalau ada coklat
yang menempel di celana bapak-bapak.
Lalu coklat itu dimasukkan ke dalam kelaminku, Ma. Sakit.
III.2
Itu pertama kalinya. Besoknya lagi aku
juga disuruhnya melakukan hal tersebut. Aku tidak mau. Coklat itu terlalu besar
dan menyakitkan. Tiap kali buang air kecil aku merasakan pedihnya, Ma. Tapi
bapak itu memaksa. Dan ia masukkan juga.
Aku tidak tahu, Ma. Benar-benar tidak
tahu. Ma, aku tidak mau lagi ke sekolah. Di sana banyak orang-orang jahat.
Apakah sekolah itu neraka, Ma? Seperti yang dijanjikan Tuhan kepada umatnya,
perilaku buruk akan mendapat ganjaran neraka. Lalu apakah aku berlaku buruk,
Ma, sehingga aku disiksa di neraka?
Ketika kami mendarahi tugu itu.
Orang-orang yang lalu lalang dan kendaraan yang silang-bersilang berhenti.
Sejenak. Hanya sejenak. Setelah itu kehidupan berjalan seperti itu lagi.
Aku tidak mau ke sekolah. Tidak mau di
kampung. Tidak mau bertemu om, tante, nenek, kakek, dan sepupu yang lain. Aku
ingin ke surga saja, Ma. Tapi apakah Tuhan membukakan pintunya untukku?
Wuri, anakku, kita akan diterima di
surga. Kita adalah korban. Kita adalah orang-orang teraniaya. Tetaplah berperilaku
baik dan senang memberi daripada menerima.
Tidak bisa, Han. Kita tidak akan bisa
merasa lebih baik meski apa pun yang kita lakukan. Pasrah malah memperparah.
Melawan hanya akan meruntuhkannya sekeping. Mati hanya akan mewariskan
kecemasan.
Lalu apa yang mesti kita lakukan?
Papa dan Mama diam. Aku menahan perih
yang menususuk-nusuk kelaminku.
Aku akan membunuhnya.
Bagaimana caramu. Dia sudah di penjara.
Sudah puaskah kau dengan dipenjaranya
mereka? Tidak adakah bara yang menjadi berak dalam kepalamu? Wuri korban, aku
korban, dan kau juga. Korban-korban harus membunuh pelakunya.
Membunuh hanya akan memperparah.
Aku tahu orangtuaku sedang bertengkar.
Aku takut melihat raut wajah Papa dan Mama. Aku hanya bisa menangis.
Setidak-tidaknya aku telah memuaskan
diriku.
Hanya sekeping yang kau puaskan. Wuri,
berhenti menangis! Kamu mesti tahu inilah yang akan kamu alami ketika dewasa
nanti. Trauma! Hidup dalam kekelabuan! Jika semua orang tahu bahwa kamu adalah
korban dari pencabulan, maka ke depannya hidup bagimu tak ada arti.
Mendengar suara Mama yang lantang, aku
takut dan menghentikan tangis. Yang aku harapkan sebenarnya adalah mereka bisa
menghentikan tangisku dengan cara kemamaan atau kepapaan mereka. Tapi mereka
sangat buas. Sebelumnya aku tidak tahu kalau Mama pernah mengalami hal serupa
denganku dan Papa juga. Aku sedikit merasa nyaman bersama mereka meski aku
adalah korban pencabulan.
Kita bunuh diri saja.
Itu hanya akan mewariskan.
Ma, kenapa kita bunuh diri. Aku masih
ingin hidup.
Apa kamu mau ke sekolah.
Tidak, Ma. Di sana mengerikan.
Percuma kamu hidup kalau tidak sekolah.
Kalau kita bunuh diri apakah kita akan
masuk surga?
Gadut-INS kayutanam, Mei 2014
Halvika Padma, lahir di Padang 11 Juni
1991. Bekerja di Indaruang dan aktif di Komunitas Seni Nan Tumpah. Pernah
belajar kesusastraan di INS Kayutanam dan Sastra Indonesia Unand. Beberapa
karya berupa cerpen pernah terbit di media massa lokal dan pernah juga dibukukan
dalam antologi bersama.
0 komentar:
Posting Komentar